Undang Undang No. 6 Tahun 1967 Tentang : Ketentuan-ketentuan Pokok
Peternakan Dan Kesehatan Hewan Oleh :
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Nomor : 6 TAHUN 1967 (6/1967)
Tanggal : 8 JULI 1967 (JAKARTA) Sumber : LN
1967/10; TLN NO. 2824
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG
MAHA ESA. KAMI, PEJABAT PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang:
a. bahwa hewan adalah mahluk kurnia Tuhan Yang Maha Esa
yang diberikan kepada ummat manusia untuk disyukuri dan untuk
didayagunakan;
b. bahwa Tanah Air Indonesia mempunyai potensi yang
besar di bidang peternakan;
c. bahwa potensi tersebut harus
dimanfaatkan untuk kemakmuran, kesejahteraan, peningkatan taraf
hidup serta pemenuhan kebutuhan rakyat akan protein-hewani;
d.
bahwa peraturan dan perundangan di bidang kehewanan yang ada sudah
tidak sesuai lagi sebagai landasan hukum bagi penyelenggaraan
usaha-usaha yang dimaksud;
e. bahwa semuanya itu memerlukan
dasar-dasar baru untuk mendidik dan membangun dalam bidang
peternakan dan kesehatan hewan;
f. bahwa perlu disusun dan ditetapkan
suatu Undang-undang yang meletakkan dasar-dasar baru untuk
membangun bidang peternakan dan kesehatan hewan serta memperhatikan
bab XIII pasal 31 ayat (2) Undang-undang Dasar 1945; Mengingat:
1. Pasal 5 ayat (1), pasal 20 ayat (1) dan pasal 33 Undang- undang
Dasar 1945; 2. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara
No. XXIII/MPRS/1966; 3. Ketetapan M.P.R.S. No. XXXIII/MPRS/1967;
Dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat Gotong-Royong.
Memutuskan : Menetapkan: Undang-undang tentang
Ketentuan-ketentuan Pokok Peternakan dan Kesehatan Hewan.
BAB I. KETENTUAN UMUM.
Pasal 1.
Arti beberapa istilah.
Yang dimaksudkan dalam Undang-undang ini beserta peraturan
pelaksanaannya dengan:
a. Hewan: ialah semua binatang, yang hidup di
darat, baik yang dipelihara maupun yang hidup secara liar;
b.
Hewan-piara: ialah hewan, yang cara hidupnya untuk sebagian
ditentukan oleh manusia untuk maksud tertentu;
c. Rumpun: ialah
segolongan hewan dari suatu jenis, yang mempunyai bentuk dan sifat
keturunan yang sama; d. Ternak: ialah hewan-piara, yang kehidupannya
yakni mengenai tempat, perkembanganbiakannya serta manfaatnya
diatur dan diawasi oleh manusia serta dipelihara khusus sebagai
penghasil bahan-bahan dan jasa-jasa yang berguna bagi kepentingan
hidup manusia;
e. Peternak: ialah orang atau badan hukum dan atau
buruh peternakan, yang mata-pencahariannya sebagian atau seluruhnya
bersumber kepada peternakan;
f. Peternakan: ialah pengusahaan
ternak;
g. Peternakan murni: ialah cara peternakan, dimana
perkembangbiakan ternaknya dilakukan dengan jalan pemacekan antara
hewan-hewan yang termasuk satu rumpun;
h. Persilangan: ialah cara
peternakan, dimana perkembangbiakan ternaknya dilakukan dengan
jalan pemacekan antara hewan-hewan dari satu jenis tetapi berlainan
rumpun;
i. Perusahaan peternakan: ialah usaha peternakan, yang
dilakukan di tempat yang tertentu serta perkembangbiakan ternaknya
dan manfaatnya diatur dan diawasi oleh peternak-peternak;
j.
Penyakit hewan menular: ialah penyakit hewan, yang membahayakan
oleh karena secara cepat dapat menjalar dari hewan pada hewan atau
pada manusia dan disebabkan oleh virus, bakteri, cacing, protozoa dan
parasit;
k. Anthropozoonosis: ialah penyakit, yang dapat menular
dari hewan pada manusia dan sebaliknya;
l. Kesehatan
masyarakat veteriner: ialah segala urusan, yang berhubungan dengan
hewan dan bahan-bahan yang berasal dari hewan, yang secara
langsung atau tidak langsung mempengaruhi kesehatan manusia;
m.
Ahli: ialah dokter-dokter hewan dan/atau sarjana-sarjana peternakan,
disamping itu orang-orang lain, yang berdasarkan pendidikan dan ilmu
pengetahuannya ditetapkan oleh Menteri sebagai ahli;
n.
Kesejahteraan hewan: ialah usaha manusia memelihara hewan, yang
meliputi pemeliharaan lestari hidupnya hewan dengan pemeliharaan
dan perlindungan yang wajar.
Pasal 2.
Tujuan umum. Di bidang peternakan dan pemeliharaan kesehatan
hewan diadakan perombakan dan pembangunan-pembangunan dengan tujuan
utama penambahan produksi untuk meningkatkan taraf hidup peternak
Indonesia dan untuk dapat memenuhi keperluan bahan makanan yang berasal
dari ternak bagi seluruh rakyat Indonesia secara adil merata dan cukup.
Pasal 3.
Bidang usaha dan
alat-alat pelengkap.
(1)
Untuk mencapai tujuan termaksud dalam pasal 2,
maka Pemerintah mengadakan perombakan dan pembangunan di bidang usaha:
a. peningkatan hasil perkembangbiakan ternak;
b.
perbaikan mutu ternak;
c. perbaikan situasi makanan ternak;
d. perbaikan pengolahan bahan-bahan yang berasal dari ternak
baik untuk keperluan konsumsi maupun industri dan keperluan
lain-lainnya;
e. pewilayahan ternak sebagaimana dimaksud
dalam pasal 14 dan usaha penyaluran ternak dan bahan-bahan
berasal dari ternak;
f. pemeliharaan kesehatan hewan.
(2)
a.
Usaha tersebut dilaksanakan baik oleh Pemerintah, maupun
swasta ataupun Pemerintah dengan swasta;
b. Usaha pembentukan
alat-alat kelengkapan dan bahan- bahan pelaksanaan, yang
sesuai dengan luasnya tugas. dan usaha yang harus
diselenggarakan;
c. Usaha mendirikan lembaga-lembaga pendidikan
tingkat tinggi dan pendidikan elementer di sekolah-sekolah
serta mengadakan kursus-kursus kadar peternakan dan
kesehatan hewan yang sesuai dengan kebutuhan rakyat dan
Negara.
(3)
Dalam menyelenggarakan usaha-usaha tersebut pada ayat (1)
dan (2) pasal ini Pemerintah mendorong dan mengutamakan
terlaksananya swadaya rakyat yang bersangkutan.
Pasal 4.
Penyediaan tanah, air dan makanan
ternak. (1) Untuk menjamin persediaan makanan ternak dalam jumlah yang
cukup dan mutu yang baik, maka:
a. bagi
peternakan-peternakan dan perusahaan-perusahaan peternakan
harus tersedia tanah dan air untuk menyelenggarakan padang
rumput atau penanaman tanaman- tanaman yang menghasilkan
hijau-hijauan makanan ternak;
b. diadakan kebun-kebun
pembenihan bibit untuk tanaman hijau- hijauan dan makanan
ternak;
c. mengusahakan bahan makanan ternak, termasuk makanan
penguat. (2) Pemakaian tanah dan air untuk keperluan
usaha peternakan disesuaikan dengan rencana penggunaan tanah, yang
ditetapkan oleh Pemerintah.
Pasal 5
. Pencegahan unsur pemerasan. Pemerintah berusaha
mencegah perbuatan-perbuatan di bidang peternakan, yang mengandung unsur
pemerasan seseorang terhadap orang lain.
Pasal 6.
Tanah penggembalaan umum. Tanah-tanah
penggembalaan umum hanya diperuntukkan bagi usaha peternakan, yang
mempunyai beberapa ekor ternak saja.
Pasal 7. Ahli-ahli. Pemerintah mengatur kedudukan hukum,
wewenang dan tanggung jawab para ahli.
BAB II. PETERNAKAN.
Pasal 8.
Tujuan peternakan. Peternakan
diselenggarakan dengan tujuan untuk:
a. mencukupi kebutuhan rakyat
akan protein-hewani dan lain- lain bahan, yang berasal dari ternak
yang bermutu tinggi;
b. mewujudkan terbentuknya dan perkembangannya
industri dan perdagangan bahan-bahan, yang berasal dari ternak;
c.
mempertinggi penghasilan dan taraf hidup rakyat terutama rakyat
petani-peternak;
d. mencukupi kebutuhan akan tenaga pembantu bagi
usaha pertanian dan pengangkutan;
e. mempertinggi daya-guna
tanah.
Pasal 9.
Bentuk usaha
peternakan
. (1) Peternakan diselenggarakan dalam bentuk:
a.
peternakan rakyat;
b. perusahaan peternakan.
(2) Peternakan
rakyat ialah peternakan, yang dilakukan oleh rakyat antara lain
petani disamping usaha pertaniannya.
(3) Perusahaan peternakan ialah
peternakan, yang diselenggarakan dalam bentuk suatu perusahaan
secara komersiil
(4) Usaha-usaha peternakan diadakan dengan tidak
mengganggu ketenteraman masyarakat umum, yang diatur dengan
Peraturan Pemerintah.
Pasal 10.
Peternakan rakyat.
(1) Pemerintah mengusahakan agar sebanyak
mungkin menyelenggarakan peternakan.
(2) Pemerintah berusaha
mempertumbuhkan dan memperkembangkan badan-badan hukum yang
diperlukan seperti koperasi-koperasi dan lain-lain sebagainya.
(3) Bagi kegiatan-kegiatan badan hukum tersebut boleh Pemerintah dapat
disediakan fasilitas-fasilitas antara lain di bidang perkreditan.
(4) Kepada badan hukum seperti koperasi-koperasi dapat diberikan
wewenang untuk mengeluarkan surat-surat silsilah ternak dan hewan-
hewan lainnya menurut ketentuan-ketentuan yang akan ditetapkan
dalam Peraturan Pemerintah.
Pasal
11
. Perusahaan peternakan. Perusahaan peternakan hanya
dapat diselenggarakan oleh warga negara Indonesia atau badan hukum
Indonesia yang seluruh modalnya dimiliki oleh warga negara Republik
Indonesia dengan tidak mengurangi kemungkinan kerja-sama dengan modal
asing di bidang perusahaan peternakan, yang akan diatur dalam
peraturan/perundangan tersendiri.
Pasal 12.
Penertiban dan keseimbangan tanah untuk ternak.
(1)
Dengan Peraturan Pemerintah ditertibkan jumlah dan jenis ternak,
yang boleh diternakkan di suatu bidang tanah tertentu untuk
disesuaikan dengan keadaan dan keseimbangan tanah dengan jenis
ternak yang bersangkutan.
Pasal 13.
Tata-cara perkembangbiakan.
(1) Untuk mempertahankan dan
meningkatkan mutu suatu rumpun ternak, maka:
a. di
daerah-daerah, dimana suatu rumpun ternak telah mencapai
mutu yang tinggi di dalam suatu produksi harus dijalankan
peternakan murni;
b. di daerah-daerah lain, jika dipandang
perlu, diadakan perkembangbiakan/persilangan untuk mencapai
jurusan produksi tertentu;
c. bibit ternak jantan,
yang kurang baik atau tidak sesuai dengan jurusan produksi
di suatu daerah, harus dicegah penggunaannya sebagai ternak
pemacek dengan jalan kastrasi atau dipotong;
d.
disediakan bibit unggul dan didirikan balai-balai pembuahan-
tiruan di daerah peternakan; e. diusahakan, supaya ada
imbangan yang wajar antara jumlah ternak jantan dan ternak
betina. (2) Hal-hal yang termaksud pada ayat (1) pasal ini diatur
dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah.
Pasal 14
Pewilayahan ternak.
(1) Untuk
penyebaran ternak secara merata di seluruh wilayah Indonesia,
perlu dilakukan pemindahan ternak secara besar-besaran dan
berencana.
(2) Pemindahan ternak termaksud pada ayat (1) diatur
dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah.
Pasal 15.
Industri peternakan. (1) Pemerintah
mengatur, membina, membantu dan mengawasi pertumbuhan dan
perkembangan industri pengolahan bahan-bahan yang berasal dari
ternak. (2) Hal-hal yang tersebut pada ayat (1) ditetapkan lebih
lanjut dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah. (3) Dalam
pengolahan bahan-bahan makanan berasal dari ternak harus
diindahkan unsur-unsur kepercayaan yang dianut oleh masyarakat.
Pasal 16.
Perdagangan ternak dan
bahan-bahan yang berasal dari ternak. (1) Di bidang perdagangan ternak
dan bahan-bahan yang berasal dari ternak Pemerintah berusaha
mengurangi jumlah perantaraan antara produsen dan konsumen, demi
kepentingan produsen dan konsumen. Hal ini diatur lebih lanjut
dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah. (2) Impor ternak
dan hewan lainnya terutama ditujukan untuk memperbaiki mutu ternak
dan hewan di Indonesia. (3) Oleh Pemerintah ditetapkan jumlah-jumlah
ternak, yang boleh diekspor ke luar negeri. Kecuali dengan ijin
Pemerintah atau pejabat yang ditunjuk, maka hanya ternak kastrasi
yang boleh diekspor ke luar negeri. (4) Untuk mencukupi
kebutuhan daerah-daerah akan ternak sembelihan oleh Menteri
diadakan ketentuan-ketentuan tentang pengiriman ternak dari daerah
yang kelebihan ternak, ke daerah yang memerlukannya. (5) Pemerintah
berusaha memberikan fasilitas pengangkutan ternak dan bahan dari
ternak dalam jumlah yang mencukupi.
Pasal 17.
Bagi hasil ternak dan persewaan ternak. (1)
Peternakan atas dasar bagi-hasil ialah penyerahan ternak sebagai
amanat, yang dititipkan oleh pemilik ternak kepada orang lain, untuk
dipelihara baik-baik, diternakkan, dengan perjanjian bahwa dalam
waktu tertentu titipan tersebut dibayar kembali berupa ternak
keturunannya atau dalam bentuk lain yang disetujui oleh kedua pihak.
(2) Waktu tertentu termaksud pada ayat (1) tidak boleh kurang dari 5
(lima) tahun, dalam hal yang dipeternakkan atas dasar bagi-hasil
itu ialah ternak besar. Bagi ternak kecil jangka waktu itu dapat
diperpendek. (3) Jika pengembalian ternak dilakukan dalam bentuk
ternak, maka jumlah ternak, yang harus diberikan kepada pemilik
adalah jumlah pokok semula ditambah sepertiga jumlah keturunan
ternak semula itu. (4) Ketentuan-ketentuan lebih lanjut mengenai soal
yang diatur pada ayat (2) sampai dengan ayat (3) pasal ini
ditetapkan dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah. (5)
Pemerintah Daerah tingkat II dengan memperhatikan pasal 5 dan
pasal 22 Undang-undang ini dapat mengadakan peraturan tentang soal
sewa-menyewa ternak di daerahnya dengan mengindahkan
petunjuk-petunjuk Menteri.
Pasal 18.
Selain dari apa yang ditentukan dalam pasal-pasal tersebut diatas,
maka untuk memajukan peternakan dilakukan usaha-usaha yang berikut: a.
Mengusahakan diadakannya penelitian-penelitian dan percobaan-
percobaan ilmiah baik oleh Pemerintah maupun oleh swasta, yang
hasil-hasilnya kemudian, disalurkan dan disebarluaskan kepada
peternak-peternak dan perusahaan peternakan yang bersangkutan. b.
Mengadakan penyuluhan dan pameran-pameran ternak dan hasil-hasil
industri peternakan untuk memberikan pengertian dan kesadaran
kepada masyarakat pada umumnya dan para peternak pada khususnya
mengenai soal-soal, yang bersangkutan dengan usaha- usaha
peternakan dan pengolahan bahan-bahan yang berasal dari ternak,
hingga dapat digerakkan swadaya rakyat di dalam penyelenggaraan
usaha-usaha itu, baik oleh Pemerintah maupun swasta. c.
Pemerintah mengadakan sensus ternak dan menyelenggarakan statistik
tentang usaha-usaha peternakan dan pengolahan bahan- bahan yang
berasal dari ternak dan perdagangannya. d. Dengan Peraturan
Pemerintah yang bertujuan untuk mendorong, membantu, mempercepat
dan menjamin kelangsungan pembangunan di bidang peternakan
diadakan usaha-usaha, yang dimungkinkan oleh Undang-undang dalam
kebutuhan materiil dan fasilitas-fasilitas lainnya.
BAB III. KESEHATAN HEWAN.
Pasal 19.
Umum. (1)
Urusan-urusan kesehatan hewan meliputi antara lain urusan
penolakan, pencegahan, pemberantasan dan pengobatan penyakit
hewan, baik secara massal maupun secara individuil. (2) Urusan-urusan
kesehatan masyarakat veteriner meliputi antara lain urusan-urusan
kesehatan bahan makanan yang berasal dari hewan, dan urusan
penyakit-penyakit hewan yang termasuk anthropozoonosa. (3) Urusan
kesejahteraan hewan meliputi antara lain urusan pemeliharaan,
perawatan, pengangkutan, pemakaian, pemotongan dan pembunuhan
hewan.
Pasal 20.
Penyakit hewan.
(1) Penolakan penyakit hewan meliputi kegiatan-kegiatan penolakan
masuknya suatu penyakit hewan ke dalam wilayah Republik Indonesia.
(2) Pencegahan penyakit hewan meliputi: a. karantina; b.
pengawasan lalu-lintas hewan; c. pengawasan atas impor dan
ekspor hewan; d. pengebalan hewan; e. pemeriksaan dan
pengujian penyakit; f. tindakan hygiene. (3) Pemberantasan
penyakit hewan meliputi usaha-usaha: a. penutupan suatu daerah
tertentu untuk keluar dan masuknya hewan; b.
pembatasan bergerak dari hewan di daerah itu; c. pengasingan
hewan sakit atau yang tersangka sakit; d. pembinasaan hewan
hidup atau mati, yang ternyata dihinggapi penyakit menular.
(4) Pengobatan penyakit hewan meliputi usaha-usaha: a.
pengawasan dan pemeriksaan hewan; b. penyediaan obat-obatan dan
immum-sera oleh Pemerintah atau swasta, baik dari dalam
maupun luar negeri; c. urusan-urusan pemakaian obat-obatan dan
immum-sera. (5) Pemerintah mengeluarkan peraturan untuk melaksanakan
urusan- urusan yang tersebut dalam pasal 20. Pelaksanaan usaha-
usaha tersebut serta pelimpahan wewenangnya diatur berdasarkan
Peraturaun Pemerintah. Pasal 21.
Kesehatan masyarakat veteriner. Untuk kepentingan pemeliharaan
kesehatan manusia dan ke tenteraman bathin masyarakat, sebagaimana
termaksud pada pasal 19 ayat (2), maka dengan Peraturan Pemerintah
ditetapkan ketentuan-ketentuan tentang: (1) a. pengawasan
pemotongan hewan; b. pengawasan perusahaan susu, perusahaan
unggas, perusahaan babi; c. pengawasan dan
pengujian daging, susu dan telur; d. pengawasan pengolahan
bahan makanan yang berasal dari hewan; e.
pengawasan dan pengujian bahan makanan yang berasal dari
hewan yang diolah; f. pengawasan terhadap "Bahan-bahan Hayati"
yang ada sangkut- pautnya dengan hewan, bahan-bahan
pengawetan makanan dan lain-lain. (2) a. pemberantasan
rabies pada anjing, kucing dan kera dan lain-lain
anthropozoonosa yang penting; b. pengawasan terhadap
bahan-bahan berasal dari hewan yaitu: kulit, bulu, tulang,
kuku, tanduk dan lain- lain; c. dalam pengendalian
anthropozoonosis diadakan kerja-sama yang baik antara
instansi-instansi yang langsung atau tidak langsung
berkepentingan dengan kesehatan umum.
Pasal 22. Kesejahteraan hewan. Untuk kepentingan
kesejahteraan hewan, maka dengan Peraturan Pemerintah ditetapkan
ketentuan-ketentuan tentang: a. Tempat dan perkandangan; b.
Pemeliharaan dan perawatan; c. Pengangkutan; d. Penggunaan dan
pemanfaatan; e. Cara pemotongan dan pembunuhan; f. Perlakuan dan
pengayoman yang wajar oleh manusia terhadap hewan.
Pasal 23. Obat-obatan. Untuk melengkapi pasal
20 ayat (4b), maka: (1) Pemerintah menyediakan obat-obatan dalam
jumlah yang cukup serta mengatur dan mengawasi perbuatan,
persediaan, peredaran serta pemakaiannya. (2) Mengadakan
penyelidikan-penyelidikan ilmiah bahan-bahan obat- obatan hewani.
BAB IV.
LAIN-LAIN. Pasal 24.
Ketentuan pidana. (1) Peraturan pelaksanaan dari Undang-undang ini
dapat memuat sanksi pidana berupa hukuman pidana penjara atau
kurungan dan/atau denda. (2) Ternak, benda-benda dan
bahan-bahan lainnya tersangkut dengan, diperoleh karena atau
dipergunakan untuk melakukan tindak pidana tersebut pada ayat (1)
pasal ini dapat disita untuk Negara dan kalau perlu dimusnahkan
oleh Negara. (3) Tindak pidana tersebut pada ayat (1) pasal ini
menurut sifat perbuatan dapat dibedakan antara kejahatan dan
pelanggaran. Pasal 25.
Penyelidik khusus. Atas usul Menteri oleh Menteri/Panglima
Angkatan Kepolisian dapat ditunjuk pejabat-pejabat khusus Kehewanan,
yang berwenang untuk melakukan penyidikan tindak pidana tersebut dalam
pasal-pasal diatas, disamping pejabat-pejabat Kepolisian dan
pejabat-pejabat Kejaksaan yang bersangkutan.
Pasal 26. Ketentuan peralihan. Selama
peraturan-peraturan pelaksanaan Undang-undang ini belum ditetapkan, maka
peraturan-peraturan yang ada tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan
dengan Undang-undang ini.
PENUTUP. Pasal 27.
Undang-undang ini dapat disebut Undang-undang Pokok Kehewanan dan mulai
berlaku pada tanggal diundangkan. Agar supaya setiap orang dapat
mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-undang ini dengan
penempatan di dalam Lembaran- Negara Republik Indonesia. Disahkan di
Jakarta pada tanggal 8 Juli 1967. Pd. Presiden Republik, Indonesia,
SOEHARTO. Jenderal T.N.I. Diundangkan di Jakarta pada tanggal 8 Juli
1967. Presidium Kabinet Ampera; Sekretaris, SUDHARMONO S.H. Brig. Jen.
T.N.I. PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG No. 6 TAHUN 1967
TENTANG KETENTUAN-KETENTUAN POKOK PETERNAKAN DAN
KESEHATAN HEWAN. A. PENJELASAN UMUM. Tanah Air Indonesia
mempunyai potensi yang sungguh-sungguh besar di dalam bidang peternakan
dan hewani, sebagai karunia Tuhan yang wajib kita syukuri dan
daya-gunakan,hingga dicapai manfaat yang sebesar- besarnya bagi
kesejahteraan masyarakat. Rakyat kita yang sangat memerlukan
protein-hewani, perlu dibimbing ke arah kebiasaan-kebiasaan baru, hingga
mereka terjamin benar-benar dalam kebutuhan-kebutuhan protein tersebut.
Kebiasaan-kebiasaan baru itu tidaklah sekedar terbatas pada
kebutuhan-kebutuhan yang dimaksud, tetapi perlu diperluas dengan
pengetahuan dan kesadaran, bagaimana cara memperolehnya, memeliharanya
dan memperkembangkannya untuk kepentingan Rakyat, Bangsa dan Negara,
bahkan untuk kepentingan sesama manusia. Pengertian itu
mengandung makna, bahwa penggalian potensi hewani selain untuk keperluan
hidup, juga untuk membuka lapangan-lapangan kerja baru terutama dalam
bidang produksi. Justru dalam rangka mensyukuri nikmat Tuhan itulah,
maka manusia wajib mengolah apa yang dikaruniakan oleh Tuhan padanya.
Produksi adalah kerja-sama antara tenaga manusia dan alam,
sedangkan kebahagiaan hidup adalah terletak pada perbandingan antara
konsumsi materiil itu dan mampu untuk sementara menahan keinginan-
jeinginan, oleh karenanya investasi-investasi yang diperlukan dan yang
biasanya memerlukan waktu, membawa harapan-harapan yang besar, karena
pengertian adanya perbandingan yang dimaksud di atas. Dengan rumus itu
dapat dihitung kebutuhan manusia akan protein-hewani dan dengan demikian
dapat pula dihitung produksi ternak yang diperlukan. Sebagai
konsekwensi dari pada yang diuraikan di atas diperlukan pengetahuan
dalam bidang teknologi, tenaga-tenaga ahli dan tenaga-tenaga terdidik.
Untuk dapat mempercepat perkembangan produksi ternak, maka selain
penyebar-luasan pengertian, pengetahuan, kesadaran akan pentingnya
hewani pada rakyat perlu diperjuangkan pula adanya pelajaran- pelajaran
elementer di sekolah-sekolah dasar dan menengah. Maksud utama
dalam membawa pengertian pada semua lapisan masyarakat adalah agar
terbuka perspektif-perspektif baru untuk mencapai keserasian dan
persatu-paduan dalam bidang sosial-ekonomis antar segi- segi idiil dan
komersiil. Dengan demikian diharapkan adanya inisiatip baru dari fihak
swasta, baik secara kerja-sama dengan Pemerintah maupun dengan pihak
luar Negeri dalam bentuk-bentuk yang diizinkan oleh Undang- undang.
Negara Republik Indonesia yang agraris tidak lepas dari soal peternakan
dan oleh karena itu Pemerintah wajib memajukannya, setidak- tidaknya
mencegah penyakit-penyakit hewani, baik yang menular maupun yang tidak
menular, sebab tanpa usaha itu rakyat akan kehilangan sumber
protein-hewani yang diperlukan, padahal sumber yang dimaksud berada di
tangan rakyat sendiri. Memperkembangkan ternak secara sehat dan
wajar merupakan salah satu syarat untuk menjaga dan mempertahankan dasar
agraris negara kita, sebab ternak dan alam selain ada hubungan
timbal-balik, terdapat pula adanya keseimbangan yang perlu diperhatikan
dan dipelihara. Dalam kesehatan hewani itulah perlu adanya
keseimbangan antara alam dan ternak, yang membuka perspektif lain, yaitu
produksi obat-obatan untuk ternak, perkembangan teknologi baru
disamping hygiene, yang kesemuanya itu akan membawa masyarakat Indonesia
pada taraf hidup yang lebih tinggi. Bila sementara ini banyak
obat-obatan yang masih diimpor, maka dikandung maksud untuk mengadakan
penyelidikan sedemikian rupa, sehingga obat-obatan itu akhirnya dapat
kita buat sendiri. Indonesia yang terdiri dari pulau-pulau
ternyata memiliki sumber- sumber ternak yang tidak merata. Prasarana
yang masih perlu disempurnakan, mengakibatkan adanya kesukaran-kesukaran
dalam mengangkut ternak ke pulau-pulau yang memerlukan ternak itu,
sedangkan ternak sebagai sumber devisa memerlukan perencanaan yang baik.
Dalam hubungan ini perlu adanya penelitian-penelitian jenis-
jenis ternak yang mana, yang dapat dikembang-biakkan di daerah-
daerah/pulau- pulau yang memerlukan itu dan bagaimana hubungannya nanti
dengan pengolahan hutan, dimana terbuka tanah-tanah lapang yang baru.
Ternak di Indonesia erat hubungannya dengan pertanian, yang
sementara ini tidak bisa dipisahkan satu sama lain. Dari segi kenyataan
itu, maka hutan, pertanian, ternak dan kesehatan hewani serta manusia
merupakan unit ekonomi, yang perlu mendapatkan synkhronisasi yang wajar.
Dengan latar belakang itulah Undang-undang ini perlu diperkembangkan
baik dalam bentuk Peraturan-peraturan Pemerintah, maupun kebijaksanaan
lain yang dipandang perlu. Diantara kebijaksanaan yang dimaksud
Pemerintah perlu memperhatikan bentuk hukum yang tumbuh dan berkembang
di Negara kita ini dan yang cocok untuk rakyat dan cocok pula untuk
bidang-bidang produksi dalam rangka Undang-undang ini. Bentuk hukum yang
sedang berkembang dan dapat memenuhi selera keadaan adalah koperasi dan
perseroan terbatas atau bentuk-bentuk lain, yang dimungkinkan oleh
Undang-undang. Pilihan bentuk hukum itu akan sangat menentukan bagi
bidang ketatalaksanaan dari suatu produksi. Adalah kewajiban Pemerintah
untuk meneliti yang dimaksud di atas, sebab bentuk hukum ada erat
hubungannya dengan persoalan permodalan dan dalam bidang ini Pemerintah
wajib menyediakan fasilitas-fasilitas, yang memungkinkan tumbuhnya
peternakan dan produksi-produksi yang ada hubungannya dengan itu.
Pertumbuhan ternak dalam rangka pertanian dan keadaan masyarakat desa,
maka bagi hasil dan sewa ternak merupakan unsur-unsur yang sudah menjadi
kebiasaan. Tetapi dalam hal ini Pemerintah wajib dapat mencegah adanya
penyalahgunaan seperti pemerasan dan lain sebagainya serta memperhatikan
benar-benar hukum-hukum agama, terutama agama Islam, yang dalam hal itu
menitik-beratkan pada segi amanat yang dititipkan oleh pemilik ternak.
Bertumbuhnya ternak yang perlu disyukuri dan dinikmati oleh ummat
manusia sebagai Kurnia Tuhan tidak bisa lepas dari perbuatan manusia
itu sendiri. Oleh sebab itu Pemerintah wajib pula menjaga ketenteraman
batin masyarakat, baik mengenai usaha peternakan, pemotongan ternak,
maupun pengolahan ternak sebagai bahan makanan. Ternak sebagai
bahan produksi untuk mencukupi kebutuhan manusia akan protein-hewani,
ternak sebagai sumber produksi untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat
dan ternak sebagai sumber devisa untuk pendapatan Negara, wajib diberi
landasan dan sumber hukum yang kuat untuk diperkembangkan dan justru
karena itulah diperlukan adanya Undang- undang Pokok Kehewanan. B.
PENJELASAN PASAL DEMI PASAL. Pasal 1. Undang-undang ini
didahului oleh suatu pasal khusus untuk istilah- istilah biologis dan
teknis dalam bidang peternakan dan kesehatan hewan, demi keseragaman
pengertian dari isi Undang- undang ini beserta peraturan- peraturan
pelaksanaannya: a. Dengan perumusan ini maka hewan-hewan yang hidup
di air tidak termasuk "hewan" menurut Undang-undang ini. b.
Seringkali terjadi bahwa pemilik hewan-piara melalaikan tanggung-
jawabnya terhadap hewan-piaranya dan membiarkannya hidup
terlantar. Hewan-hewan ini pun masih tetap termasuk pengertian
"hewan piara". c. Cukup jelas. d. Cukup jelas. e.
Peternak adalah juga pemelihara ternak walaupun bukan miliknya
sendiri, akan tetapi menerima berupa amanat yang dititipkan. f.
Peternakan sebagai usaha kemakmuran oleh masyarakat diambil
manfaatnya dengan usaha memperbaiki mutu dan efisiensinya dengan
mengindahkan pendaya-gunaan, penggunaan dan pengolahan tanah,
tanpa mengganggu lestarinya keseimbangan antara tanah dan yang
hidup di atasnya. g. Cukup jelas. h. Cukup jelas. i.
Cukup jelas. j. Cukup jelas. k. Cukup jelas. 1. Cukup
jelas. m. Sampai pada saat ini, perundang-undangan yang berlaku
menunjuk Dokter-dokter Hewan sebagai ahli bidang kedokteran hewan
dan bidang peternakan. Pertumbuhan kemajuan Negara Republik
Indonesia dalam menanggapi kebutuhan spesialisasi telah mengadakan
lembaga-lembaga pendidikan tingkat tinggi, menengah atau jurusan
ilmu peternakan. n. Cukup jelas. Pasal 2. Telah dijelaskan
pada penjelasan umum. Pasal 3. Ayat (1). Bidang-biang usaha yang
tercantum dalam pasal ini bertujuan untuk merombak sistim peternakan
yang extensif menjadi sistim peternakan yang intensif, baik kwantitatif
maupun kwalitatif. Dalam hal ini Pemerintah memberi pimpinan
serta bimbingan dalam menggerakkan Swadaya Rakyat dengan mengadakan
pendidikan, penelitian dan penyuluhan. Ayat (2). a. Cukup
jelas. b. Cukup jelas. c. Yang dimaksud dengan kader-kader
peternakan dan kesehatan-hewan adalah mereka yang memelihara
hewan terutama di desa-desa, kepada siapa diberikan latihan
khusus dalam bidang pelaksanaan peternakan dan pemeliharaan
kesehatan-hewan untuk menjadi penggerak massa dalam terlaksananya
Swadaya Rakyat dalam bidang peternakan dan kesehatan hewan di
tempat masing-masing. Pasal 4. Pemakaian tanah sebagai sumber
makanan ternak dalam bentuk padang penggembalaan atau bentuk kebun
penanaman rumput dapat dipertanggung-jawabkan, karena biasanya padang
rumput di daerah terdesak oleh bidang pertanian. Dalam rangka
Undang-undang ini harus diusahakan padang rumput untuk peternakan. Agar
usaha ini dapat dikoordinasikan dan diintegrasikan dengan penanaman
bahan makanan langsung untuk manusia dan penanaman bahan industri atau
perdagangan, maka pemakaian tanah untuk peternakan disesuaikan dengan
rencana land-use dan lain-lain peraturan agraria. Sebagai follow up: a.
Maka selayaknya harus tersedia tanah untuk peternak- peternak dan
perusahaan peternakan, agar produksi kehijauan makanan ternak
dapat terjamin. b. Bagi peternak dan perusahaan peternakan selain
makanan hijauan juga air merupakan masalah yang penting untuk minum
ternak dan menyirami padang penggembalaan serta kebun-kebun
tanaman rumput di musim kering. Maka selayaknya hak guna air
seperti dimaksud dalam pasal 47 Undang-undang Pokok Agraria juga
tersedia bagi peternak dan perusahaan peternakan. c. Agar
diadakan pengamanan dan penertiban atas hasil-hasil ikutan
pertanian, perkebunan dan industri yang dapat dipergunakan sebagai
makanan penguat ternak seperti: dedak, bungkil, tetes dan lain-lain.
Dalam mengekspor bahan-bahan tersebut hendaknya diperhatikan
kebutuhan dalam Negeri. Pasal 5. Dalam rangka makna pasal ini
harus pula diperhatikan pencegahan pemerasan berganda: yakni-hewan tarik
(umpamanya di pabrik-pabrik gula) yang tidak digunakan lagi jangan
diterlantarkan. Pasal 6. Penggunaan tanah penggembalaan umum
yang disediakan oleh Pemerintah diutamakan bagi pemilik ternak yang
sedikit. Maksudnya ialah untuk melindungi peternak kecil yang lemah
ekonominya. Pemilik ternak dengan jumlah besar yang mempunyai ternak
melebihi suatu jumlah tertentu, diharuskan mempunyai tanah penggembalaan
sendiri dengan mengindahkan peraturan-peraturan yang ada. Pasal 7.
Cukup jelas. Pasal 8. Nilai gizi protein hewan pada umumnya jauh
lebih tinggi dari pada nilai protein nabati. Karena itu perbaikan,
pengembangan dan intensifikasi peternakan berarti juga membantu
membentuk manusia Indonesia yang sehat, kuat dan cerdas.
Peternakan tidak bisa dipisahkan dari pertanian dalam arti yang luas.
Integrasi ternak ke dalam usaha tani, secara ekonomis senantiasa akan
meningkatkan effisiensi dari usaha. Bentuk peternakan keadaan sekarang
sejalan dengan perkembangan pertanian, perlu dirombak dan serentak
dibangun menurut sistim produksi yang effisien. Dari segi lain,
maka hal ini juga merupakan suatu keharusan karena permintaan akan
bahan-bahan berasal dari ternak akan naik. Peternakan bukan hanya
sekedar membantu pertanian dalam arti khusus, tetapi
menampung/mengolah/meninggikan harga bahan-bahan asal pertanian, hal
mana berarti meningkatkan taraf hidup masyarakat petani-peternak.
Oleh karena itu usaha ternak akan meningkatkan pendapatan Rakyat dan
Negara yang antara lain disebabkan terbukanya jalan untuk memperluas
industri dan perdagangan ternak dan bahan asal dari ternak, sehingga
secara menyeluruh akan menaikkan pendapatan nasional percapita. Pasal
9. Cukup jelas. Pasal 10. Dalam rangka pembangunan nasional,
dengan bimbingan Pemerintah diusahakan peningkatan taraf hidup rakyat
pada umumnya, kaum tani pada khususnya menjadi tani peternak.
Dengan menjunjung tinggi sifat kepribadian bangsa Indonesia dalam hal
bergotong-royong, maka juga dalam urusan peternakan sifat ini perlu
dikembangkan secara koperatip,dalam bentuk-bentuk hukum yang berlaku di
Indonesia. Usaha produksi di bidang peternakan dalam bentuk
hukum yang berlaku seperti koperasi dan sebagainya, perlu mendapat
perhatian dari Pemerintah, agar supaya diberi fasilitas-fasilitas untuk
memperoleh modal dan kredit. Di dalam teknik peternakan usaha memperoleh
dan membina bibit adalah mutlak.Untuk keperluan ini diadakan pencatatan
asal-usul ternak yang dibiakkan dengan peraturan-peraturan pembiakan
tertentu dan tiap ternak disertai dengan surat silsilah. Agar
usaha yang menuju pada pemulihan ternak atau hewan lainnya ini tidak
disalah-gunakan, maka perlu diadakan peraturan-peraturan khusus tentang
pengeluaran surat-surat silsilah. Peraturan ini ditetapkan dengan
Peraturan Pemerintah. Pasal 11. Cukup jelas. Pasal 12.
Penertiban jumlah ternak, selain dimaksud untuk meratakan usaha
peternakan di kalangan Rakyat-Tani dan mencegah praktek-praktek
pemerasan, juga dimaksud supaya jangan terjadi pengrusakan tanah seperti
erosi dan sebagainya. Sebagai tercantum dalam pasal 8, bahwa
ternak berfungsi antara lain mempertinggi daya-guna tanah, tetapi
manakala keseimbangan antara jumlah ternak dan kemampuan menampung oleh
tanah terganggu, bisa menyebabkan erosi. Istilah penertiban dalam pasal
ini dimaksud untuk memelihara keseimbangan antara jumlah ternak dan
pendayagunaan tanah. Agar supaya segala sesuatunya lebih mudah dapat
disesuaikan dengan keadaan daerah masing-masing, maka sebaiknya
penetapan batas itu dapat diserahkan kepada Pemerintah Daerah,satu dan
lain selaras dengan land-use planning regional. Pasal 13. Dalam
usaha pemulihan ternak ditempuh jalan sesuai dengan keadaan populasi dan
ekologi ternak setempat, antara lain: a. Jika di suatu daerah telah
terdapat keseragaman dalam mutu, bentuk badan dan sifat-sifat
keturunan, maka di daerah tersebut diadakan peternakan murni.
Misalnya di Pulau Bali, bibit unggul tampang diambil dari sapi
rumpun Bali, di Sumba dari rumpun Onggolo, di Madura dari rumpun
Madura dan sebagainya. Tidak diperkenankan di daerah tersebut
digunakan rumpun lainnya sebagai bibit ternak. b. Di daerah di mana
belum terdapat keseragaman ternak seperti dimaksud dalam sub a
dapat didatangkan bibit dari lain daerah (yang akan diatur dengan
Peraturan Pemerintah). Apa yang dijelaskan di atas itu ialah
sepanjang mengenai peternakan rakyat yang umumnya memakai padang
penggembalaan umum sebagai sumber makanan ternak. Untuk
perusahaan peternakan yang ternaknya tidak tercampur dengan ternak
rakyat, dapat diadakan penyimpangan dari peraturan tersebut,
misalnya untuk perusahaan peternakan sapi-perah dengan memakai
bibit luar negeri. c. Dalam mengusahakan terdapatnya bibit yang
unggul, maka bibit yang kurang baik atau yang tidak sesuai dengan
arah peternakan, harus disingkirkan dengan cara kastrasi atau
dipotong. Hal ini dapat diatur dengan Peraturan Daerah. d.
Kalau bibit yang kurang baik atau yang tidak sesuai dengan arah
peternakan setempat telah disingkirkan, maka serentak harus
disediakan bibit-bibit unggul berupa pemacek, yang disediakan oleh
Pemerintah (Pusat dan/atau Daerah) koperasi- desa dan lain-lain
badan. Di samping pemacek-pemacek tersebut maka bibit ternak
rakyat pilihan dapat diikut-sertakan juga dalam peternakan.
Seterusnya dipergunakan cara pembuatan-pembuatan (artifical-
insmination) dan diadakan balai-balai tempat pemusatan bibit jantan
yang berkwalitas tinggi. e. Untuk menjaga jangan terlalu banyak
ternak jantan dipotong, dikastrasi atau diangkut keluar daerah
karena ternak jantan itu kurang mendatangkan hasil bagi si
pemilik, maka harus ada usaha-usaha agar imbangan yang wajar
antara ternak jantan dan betina dapat dipelihara terus. Pasal 14.
Dalam rangka menjalankan pengrataan milik ternak, maka perlu
pemindahan ternak dari daerah padat ke daerah yang tidak padat
ternaknya, menuju keberdikarinya daerah demi daerah dalam kebutuhan
ternak kerja, ternak potong serta sebagai landasan transformasi ke arah
ternak perah, sedang daerah yang kelebihan ternak potong dapat
menyelenggarakan ekspor langsung ke luar Negeri. Pasal 15.
Industri peternakan meliputi industri-industri pengolahan, pengawetan,
pengepakan dan pengalengan dari pada bahan makanan manusia atau ternak
yang berasal dari ternak. Industri pengolahan dalam ayat ini
mempunyai arti yang luas, yakni tidak hanya pengolahan dalam arti
sebenarnya, melainkan juga pengawetan, pengepakan dan pengalengan bahan
yang dimaksud itu. Untuk menjaga ketertiban umum, dalam
pengolahan bahan makanan berasal dari ternak perlu diperhatikan
unsur-unsur kepercayaan masyarakat. Pasal 16. Ayat (1) Cukup
jelas. Ayat (2) Lihat penjelasan pasal 13 ayat (1) sub-b.
Ayat (3) Pelarangan ekspor ternak yang tidak dikastrasi serta penjatahan
ternak yang boleh dikeluarkan diadakan dalam rangka usaha- usaha
mempertahankan dan meningkatkan mutu ternak, sesuai dengan
ketentuan-ketentuan dalam pasal 13. Ayat (4) Ketentuan tersebut
dimaksud agar daerah-daerah konsumen mendapatkan pembagian wajar akan
kebutuhan ternak sembelihan. Ayat (5) Fasilitas-fasilitas
pengangkutan ternak tersebut dalam ayat ini perlu dipersiapkan dan
diperlengkapi sesuai dengan syarat-syarat pengangkutan khusus untuk
ternak. Pemerintah berusaha ke arah pengusahaan armada/pengangkutan
sendiri. Pasal 17. Keseluruhan pasal 17 ini dimaksudkan untuk
memberikan kemungkinan bagi yang kurang mampu untuk memiliki ternak
tanpa terjirat oleh tindakan pemerasan sebagaimana dimaksud oleh pasal
5. Ayat (2) dan ayat (3). Ayat-ayat ini ditafsirkan
sebagai berikut: a. pemilik ternak hanya berhak menuntut untuk
dikembalikan ternaknya yang digaduhkan beserta keturunannya
setelah 5 tahun. b. penggaduh dapat mengembalikan keturunannya
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), setiap saat ia mampu dan
menghendakinya. Pertimbangan ayat-ayat ini adalah: a. untuk menjamin
pelaksanaan pasal 5, yakni menghindari unsur pemerasan. b.
dengan mengindahkan sub-a di atas, namun yang mengurangi hasrat
pemilik ternak untuk menggaduhkan. Bagi hasil ternak dan
persewaan ternak tersebut dalam pasal ini ditentukan atas dasar
persetujuan dan perjanjian fihak-fihak yang bersangkutan, dengan
mengindahkan ketentuan-ketentuan minimal yang tercantum dalam pasal ini.
Pasal 18. a. Penyelidikan ilmiah antara lain bertujuan untuk
memperkembangkan tingkat produksi. Penyelenggaraan
penelitian ini demi kemajuan yang pesat, tidak hanya dilakukan
oleh Pemerintah, akan tetapi juga swasta dianjurkan bergerak di
bidang ini. Dalam hal ini hasil penelitian swasta dan Pemerintah
saling isi-mengisi untuk dapat dimanfaatkan oleh masyarakat. b.
Penyuluhan adalah pendidikan peternak-produsen dalam rangka
korsiderans sub-d serta pasal 3 ayat (2)-c, yakni pembentukan kader
peternak. Dalam rangka sub-a di atas, maka pendidikan,
penelitian, dan penyuluhan merupakan suatu trilogi, dengan sasaran
menggerakkan Swadaya Rakyat peternakan. c. Sensus dimaksudkan
untuk mendapat gambaran yang obyektif perihal inventarisasi dan
evaluasi yang cermat dari perkembangan potensi ternak nasional,
sebagai suatu syarat untuk dimungkinkannya menyusun rencana yang
konsisten. d. Pelaksanaan dan segala perencanaan memerlukan biaya;
maka oleh karena itu diperlukan penggalian sumber pembiayaan yang
mempunyai landasan hukum, hal mana dimungkinkan oleh ayat ini.
Pasal 19. Usaha-usaha dalam kesehatan hewan meliputi dua
lapangan, yakni: 1. dalam lapangan ekonomi: mempertinggi produksi
dengan memperbaiki kesehatan hewan dan mengurangi/menghilangkan
kerugian-kerugian yang ditimbulkan oleh penyakit, sehingga lebih
banyak tersedia bahan pangan hewani untuk konsumsi dalam Negeri
dan untuk ekspor. 2. dalam lapangan sosial: menjaga agar
kesehatan masyarakat jangan terganggu oleh konsumsi makanan
berasal dari ternak, atau oleh karena penularan penyakit
anthropozoonosa atau oleh karena kontak dengan bahan-bahan yang
ketularan umpama kulit, tulang dan lain- lain. Yang
terpenting dari usaha di lapangan ekonomi ini adalah pemberantasan
penyakit, yang diatur dalam
pasal 20.
Tindakan-tindakan pemberantasan
itu sedapat mungkin harus diselenggarakan secara massal.
Dengan tindakan-tindakan tersebut di atas, maka secara tidak langsung
terselenggara juga pengamanan kesehatan masyarakat, antara lain terhadap
penyakit-penyakit yang berbahaya bagi hewan maupun manusia.
Dalam pada itu untuk mengamankan kesehatan masyarakat masih
diperlukan tindakan-tindakan lain, oleh karena manusia memerlukan
bahan-bahan yang berasal dari ternak baik untuk konsumsi maupun untuk
sandang (daging, susu, kulit, bulu, dan lain-lainnya).
Berhubung dengan itu, maka diperlukan pula usaha-usaha untuk secara
langsung memeriksa ternak dan bahan-bahan yang berasal dari ternak
sebelum digunakan untuk konsumsi maupun sandang. Lain dari pada itu
perlu pula diadakan pengawasan terhadap ternak dan hewan-hewan lain yang
daat diserang penyakit yang membahayakan manusia, oleh karena banyak
sekali terjadi kontak langsung antara manusia dan hewan itu, umpamanya
pada penyakit anjing gila (rabies). Hal-hal yang di atas
menyangkut apa yang disebut kesehatan masyarakat veterinair, yang lebih
lanjut diatur dalam pasal 21. Pasal 20. Ada 4 phase dalam usaha
kita meniadakan sesuatu penyakit. Keempat phase ini merupakan suatu
kesatuan-program penolakan, pencegahan dan pemberantasan penyakit hewan.
Phase 1: Penolakan. Yang dimaksud dengan penolakan ialah
tindakan-tindakan preventif terhadap masuknya sesuatu penyakit baru ke
dalam wilayah Infonesia. Tindakan itu meliputi: a. pelarangan
pemasukan jenis ternak yang tertentu dari daerah tertentu yang
tekenal sebagai sumber sesuatu penyakit; misalnya pelarangan
pemasukan sapi dari Australia berhubung dengan penyakit
pleuropneumonia contagiosabovum. b. pelarangan pemasukan bahan-bahan
makanan berasal dari ternak yang dapat dianggap sebagai bahan
penyebar penularan. Begitu juga alat-alat yang dapat dipakai
pemiaraan hewan seperti pakaian, tali dan lain-lainnya, makanan
ternak seperti rumput (kering) makanan penguat dan lain-lainnya
atau bagian-bagian hewan seperti kulit, tulang, bulu dan
lain-lainnya. c. pemeriksaan kapal-kapal yang akan berlabuh dapat
digolongkan usaha ini. Usaha-usaha ini diatur dalam pasal 20 ayat
(1). Phase II: Pencegahan. Penyakit telah sampai di
pantai kita atau telah mulai menyebar. Tindakan-tindakan preventif
terhadap hewan sebelum terserang oleh penyakit meliputi usaha-usaha yang
disebut dalam pasal 20 ayat (2). (Karantina dapat dimisalkan saringan
agar penyakit tertangkap dalam saringan ini dan dapat dimusnahkan).
Karantina ini bukan hanya mengenai import dari luar Negeri tetapi
juga untuk ekspor keluar Negeri. Untuk waktu yang tertentu hewan-hewan
itu ditahan dan diobservasi dalam karantina, sehingga tidak ada hewan
yang sakit dapat menyelundup ke daerah pedalaman atau meninggalkan
pantai kita untuk menyebarkan di luar Negeri. Juga untuk
lalu-lintas interinsulair karantina ini memegang peranan yang besar
sekali dalam pencegahan penyakit. Di dalam karantina dilakukan
vaksinasi-vaksinasi yang diharuskan. Pengawasan lalu-lintas
hewan di darat lebih sukar berhubung banyaknya jalan-jalan yang dapat
dilalui dan kecurigaan, seolah- olah pengawasan ini mempunyai tujuan
lain dari pada penyebaran bibit penyakit, (pasal 20 ayat 2 b).
Pengebalan: Tindakan yang bertujuan mempertinggi daya tahan hewan
terhadap penularan sesuatu penyakit tertentu. Pengebalan ini diperoleh
dengan cara vaksinasi tetapi juga dengan immun-serum, (pasal 20 ayat 2
d). Hygiene: Tindakan hygiene adalah tindakan pembantu
berupa usaha-usaha untuk menjaga kebersihan tubuh, tempat dan alat-alat
demi kepentingan kesehatan dan pencegahan penularan, (pasal 20 ayat 2
f). Phase III : Pemberantasan. Penyakit sudah ada dan telah
berjangkit di negara kita. Tindakan- tindakan ditujukan pertama-tama
kepada pencegahan penularan daerah lain. Pasal 20 ayat (3 a).
Penutupan daerah. Diumumkan oleh Kepala Daerah, di mana dicantumkan
tindakan-tindakan apa yang harus dijalankan pemilik-pemilik ternak,
seperti tindakan-tindakan hygiene, wajib lapor dan lain-lain.
Dapat juga dilarang hewan bergerak bebas dalam daerah tersebut untuk
mencegah penularan dengan bibit-bibit penyakit yang melekat pada
hewan-hewan itu. Juga dapat diperintahkan pengasingan/penutupan hewan
yang sakit, kalau perlu dengan menyegel pintu kandang, (pasal 20 ayat
(3) a, b, c). Pembinasaan hewan hidup dijalankan terhadap penyakit yang
hingga kini tak dapat disembuhkan, atau tidak ekonomis untuk
mengobatinya. Juga jika penyakit di suatu Negara/pulau sudah begitu
berhasil diberantas, sehingga yang tinggal hanya hal-hal yang jarang
(sporadis) saja, methode pemusnahan ini dapat dijalankan, sehingga
negara/pulau itu selalu bersih dari yang sakit.Kadang-kadang methode ini
lebih murah daripada methode dengan vaksinasi massal.
Pembinasaan hewan-hewan mati dijalankan terhadap penyakit yang sangat
berbahaya, umpamanya anthrax (radang limpa),yang dijalankan biasanya
pembakaran (pasal 20 ayat 3 d). Sambil menjalankan
tindakan-tindakan dalam ayat (3) ini, simultan dijalankan juga
tindakan-tindakan tertera ayat (2). Phase IV: Pengobatan.
Ditujukan terhadap hewan yang sakit. Sejauh mungkin pengobatan ini
diusahakan (pasal 20 ayat 4). Selain apa yang tersebut di atas,
usaha-usaha kesehatan hewan meliputi juga pengobatan hewan secara
individual. Sakitnya di sini bukan penyakit menular, tetapi seperti
misalnya: luka-luka, patah tulang, kolik (masuk angin), sukar beranak
dan lain-lain. Di dalam pelaksanaan usaha-usaha di atas, ada
beberapa usaha yang harus tinggal di tangan Pemerintah Pusat, antara
lain penolakan penyakit dan Karantina.
Pasal 21.
Seperti
diterangkan di atas, usaha ini antara lain bertujuan menjamin kesehatan
manusia dari bahaya penyakit yang berasal dari hewan. Dalam soal
bahaya berasal dari bahan makanan dari ternak, pengawasan ini
berturut-turut dilakukan: a. di tempat produksi, pada waktu
pemotongan; b. pengawasan bahan makanan itu dalam keadaan segar; c.
pengawasan pengolahan makanan segar menjadi yang diawetkan; dan d.
pengawasan makanan yang telah diawetkan. Lapangan usaha ini
jauh lebih luas dari pada yang dijalankan Kehewanan sampai sekarang.
Hingga kini pengawasan dari fihak Kehewanan terbatas kepada bahan-bahan
makanan hewani dalam keadaan segar saja. Dalam menjalankan
usaha-usaha ini akan dijaga agar selalu ada pemisahan antara bahan
makanan yang halal dan yang tidak halal (pasal 21 ayat (1) a, b, c, d,
e). Pengawasan terhadap bahan-bahan hayati seperti pemakaian
pel-pel hormon pada ayam jantan untuk mengebiri, pemakaian obat-obat
pengawet bahan makanan. Pengawasan ini bertujuan menghindari
akibat-akibat yang tidak diinginkan bagi kesehatan manusia, (pasal 21
ayat 1 f). Pemberantasan rabies pada anjing, kucing dan kera
diatur dalam perundingan sendiri, anjing, kucing dan kera tidak termasuk
ternak. Lagi pula pemberantasan rabies pada anjing, kucing dan
kera meminta kerja-sama yang erat sekali antar dokter manusia dan dokter
hewan. Ini terbukti juga dari kenyataan bahwa inilah satu-satunya
penyakit menular yang mengenal dua ahli yakni dokter manusia dan dokter
hewan. Di samping rabies masih banyak penyakit anthropozoonosa
yang meminta perhatian untuk kerja-sama yang erat itu, seperti antara
lain tuberculeosis, leptospirosis, brucollosis dan lain-lain, (pasal 21
ayat 2 a). Adapun tindakan-tindakan yang diadakan mengenai kulit,
bulu, tulang dan lain-lain dimaksudkan untuk memperkecil bahaya
penularan untuk manusia yang mengerjakannya, juga untuk mencegah
penyebaran penularan ke tempat-tempat lain. Teristimewa dalam soal
anthrax, tindakan-tindakan ini perlu (pasal 21 ayat 2 b).
Pasal 22.
Di dalam usaha kita mengambil manfaat dari ternak ini hendaknya
kita jangan lupa kepada kesejahteraan dari ternak itu sendiri.
Tempat dan perkandangan, Peraturan-peraturan mengenai soal ini
dikeluarkan oleh Pemerintah Daerah tingkat II. Diusahakan, agar dalam
soal ini, jangan sampai tersinggung perasaan dan ketenteraman
masyarakat. Sungguhpun begitu syarat-syarat harus sesuai dengan daya
kemampuan rakyat, dan dijaga agar peraturan-peraturan itu jangan sampai
menjadi penghalang produksi atau peningkatan reduksi, (pasal 22a).
Usaha ini juga meliputi jaminan-jaminan pelakuan yang wajar dari
manusia terhadap hewan sebagai seama makhluk Tuhan Yang Maha Esa. Dalam
pengangkatan umpamanya janganlah sampai hewan itu diikat dalam posisi
yang abnormal umpamanya kepala di bawah dan lain-lain. Ruangan yang
terlalu sempit, ventilasi yang jelek, semua ini harus dicegah, umpamanya
di-kapal-kapal pengangkut ternak. Waktu mengerjakan ternak jangan
kiranya hanya prestasi yang diutamakan, tetapi perlu diatur agar jangan
dipaksakan hewan itu melakukan pekerjaan di atas kemampuannya. (lihat
juga penjelasan pada pasal 5). Waktu memotong, selain syarat
keagamaan dijaga agar hewan itu jangan terlalu menderita. Begitu juga
waktu membunuh hewan. Segala peraturan yang dicantumkan dalam pasal ini
tidak mengurangi apa yang tertera dalam Undang-undang mengenai
penganiayaan hewan.
Pasal 23.
Pemerintah sejauh mungkin akan
menyediakan obat-obat yang cukup untuk kebutuhan hewan. Obat-obat yang
khusus untuk pemakaian kedokteran hewan (ad usum veterinarium) diatur
oleh Departemen Pertanian, sedangkan mengenai obat-obatan yang dipakai
baik oleh kesehatan umum maupun oleh kehewanan, diusahakan koordinasi
dan synchronisasi antara Departemen Kesehatan dan Departemen Pertanian.
Obat-obat asli Indonesia diselidiki lebih lanjut berdasarkan
ilmu pengetahuan dan diusahakan agar dapat dipakai untuk ternak serta
mendorong industri obat-obatan Indonesia, baik dengan produksi obat-obat
asli Indonesia maupun obat-obat yang dipakai di lain-lain Negara.
Pasal 24.
Untuk menjamin pelaksanaan yang sebaik-baiknya daripada
peraturan-peraturan serta tindakan yang merupakan pelaksanaan Undang-
undang ini maka diperlukan adanya sanksi pidana sebagai yang ditetapkan
dalam pasal ini.
Pasal 25.
Yang dimaksud dengan "Pejabat-pejabat
khusus" dalam ayat ini ialah antara lain petugas-petugas dari
Direktorat Jenderal Kehewanan, petugas- petugas Pamong Pradja dan
perorangan, yang menurut Menteri/Panglima Angkatan Kepolisian dapat
diberi wewenang untuk melaksanakan penyelidikan tindak-tindak pidana
tersebut pada pasal ini
. Pasal 26.
Cukup jelas. Mengetahui:
Presidium Kabinet Ampera Sekretaris, SUDHARMONO S.H. Brig.Jen. T.N.I.
No comments:
Post a Comment